Sumpah Pemuda dan Filsafat Kesadaran Bangsa

Sumpah Pemuda dan Filsafat Kesadaran Bangsa
Oleh: Muh. Tahir

Setiap bangsa besar memiliki momen kesadaran yang mengguncang nurani sejarahnya. Bagi Indonesia, itu terjadi pada 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda bukan sekadar teks tiga kalimat yang dihafal, melainkan revolusi batin kolektif yang mengubah orientasi hidup bangsa dari kegelapan penjajahan menuju terang kemerdekaan.

Sumpah Pemuda
Kami poetra dan poetri Indonesia,
mengakoe bertoempah darah jang satoe,
tanah air Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia,
mengakoe berbangsa jang satoe,
bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia,
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
bahasa Indonesia.

Secara filosofis, peristiwa itu menandai lahirnya kesadaran eksistensial manusia Indonesia—dari kumpulan suku yang tercerai menjadi satu entitas yang sadar akan dirinya. Mereka tidak lagi hidup sebagai “yang dikuasai”, tetapi sebagai subjek sejarah yang memilih untuk menentukan nasibnya sendiri.

Dari Ego Etnik ke Etika Nasional

Filsafat manusia mengajarkan bahwa kesadaran tertinggi bukan terletak pada siapa kita secara individu, tetapi bagaimana kita hidup untuk yang lain. Para pemuda 1928 meninggalkan batas etnis, bahasa, dan kepentingan daerah untuk membangun kesatuan moral bernama Indonesia.

Transformasi ini serupa dengan konsep value exchange dalam dunia bisnis: nilai baru tercipta ketika ada pertukaran kepercayaan dan pengakuan. Dalam Sumpah Pemuda, terjadi pertukaran nilai moral yang membentuk solidaritas baru, bukan berbasis ras, tetapi cita dan akal budi. Di sanalah lahir apa yang disebut oleh filsuf bangsa, Soekarno, sebagai nationhood consciousness, kesadaran berbangsa yang dibangun di atas dasar etika.

Sumpah Pemuda sejatinya bukan sekadar sumpah politik, melainkan akad etis di hadapan sejarah dan Tuhan. Ia menyerupai akad bisnis spiritual: sebuah perjanjian yang dilandasi niat suci dan tanggung jawab moral.

Jika dalam Islam bisnis adalah ibadah,“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275),maka Sumpah Pemuda adalah ibadah sosial: ikrar pengabdian untuk kesejahteraan bangsa, bukan keuntungan pribadi.

Para pemuda itu menolak bentuk “riba sejarah”,penindasan yang menghisap kemanusiaan tanpa keadilan. Mereka membayar harga kemerdekaan dengan keyakinan, bahwa kejujuran, amanah, dan persaudaraan jauh lebih berharga daripada harta dan kekuasaan.

Evolusi Kesadaran dan Tantangan Zaman Digital

Seperti halnya bisnis yang berevolusi dari barter ke era digital, kesadaran bangsa juga terus berkembang. Sumpah Pemuda bisa disebut sebagai Revolusi Kesadaran 1.0—di mana manusia Indonesia untuk pertama kalinya mengintegrasikan bahasa, bangsa, dan tanah air dalam satu sistem nilai.

Kini kita hidup di era Kesadaran 4.0, di mana nasionalisme harus dipraktikkan melalui inovasi, etika digital, dan tanggung jawab sosial. Cinta tanah air bukan lagi sekadar simbol bendera, tetapi keberanian untuk berinovasi, berwirausaha, dan berbagi manfaat dalam ekonomi digital yang berkeadilan.

Nilai-nilai Islam tetap menjadi fondasi: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Māidah: 2). Pesan ini menegaskan bahwa di era modern pun, semangat Sumpah Pemuda harus diterjemahkan dalam kerja sama lintas budaya dan teknologi yang berakhlak.

Sumpah Pemuda dan Amanah Ketuhanan

Dalam filsafat Islam, manusia disebut khalifah fil ardh, wakil Tuhan di bumi. Sumpah Pemuda adalah bukti konkret kesadaran khalifah itu: manusia yang mengambil alih tanggung jawab untuk menjaga persatuan, menegakkan keadilan, dan menumbuhkan cinta damai.

Ayat “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra‘d: 11) adalah energi spiritual yang mendorong peristiwa 1928. Pemuda kala itu tidak menunggu perubahan, mereka menjadi perubahan itu sendiri.

Inilah amanah sejarah yang kini diwariskan kepada generasi muda abad ke-21: menjaga agar semangat persatuan tidak pudar dalam riuhnya modernitas dan kepentingan material.

Dari Sumpah ke Tindakan

Filsafat Sumpah Pemuda tidak berhenti di teks, tetapi berlanjut di praksis. Ia mengajarkan bahwa persatuan adalah proyek moral yang harus diperbarui setiap generasi.
Dalam bisnis, persatuan itu berarti kerja sama yang jujur dan beretika. Dalam pendidikan, ia berarti menanamkan nilai kemanusiaan dan spiritualitas dalam ilmu. Dalam pemerintahan, ia berarti melayani dengan amanah dan tanpa korupsi.

Sumpah Pemuda adalah cermin nilai universal: kejujuran, tanggung jawab, dan solidaritas. Nilai yang sama yang diajarkan Islam dalam setiap transaksi dan interaksi sosial.

Penutup:
Sumpah Pemuda adalah api kesadaran, bukan batu nisan sejarah. Ia hidup setiap kali kita menyalakan niat tulus untuk berbuat bagi negeri.

Di tengah zaman yang sarat teknologi, ekonomi digital, dan politik citra, kita perlu kembali kepada ruh sumpah itu: bekerja dengan hati yang jujur, bersatu dalam kebaikan, dan terus belajar menjadi bangsa yang bermartabat.

Sebagaimana pebisnis sejati menimbang untung dengan nilai moral, demikian pula manusia Indonesia menimbang kemajuan dengan ukuran kemanusiaan. Karena sejatinya, sumpah terbesar kita bukan hanya kepada bangsa, tetapi kepada Allah, Sang Pencipta sejarah. (***)

Komentar