Karampuang Tak Pernah Jauh, Hanya Tak Dilihat
Oleh: Prajna R Narendraduhita, Koordinator Mahasiswa Tingkat Unit Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) UGM Periode II Tahun 2025 untuk wilayah Pulau Karampuang, Mamuju, Sulawesi Barat.
SEBUAH pulau kecil yang berada tidak jauh dari Ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, Pulau Karampuang. Pulau Karampuang mulai dikenal publik melalui promosi pariwisata lewat brosur dan media sosial. Branding yang ditampilkan sebagai surga tersembunyi dengan laut yang jernih, penduduk ramah, dan senja yang membuat siapapun selalu ingin singgah.
Artikel ini adalah sebuah pesan dari pengabdian selama 50 hari di Pulau Karampuang. Melihat hal lain yang tidak pernah dilihat orang dari luar.
Listrik yang Bergantung pada Matahari
Ketika malam hari lampu-lampu di Kota Mamuju terlihat jelas dari Pulau Karampuang. Namun sebaliknya, ketika malam dari pesisir Kota Mamuju, Pulau Karampuang seakan hilang tak nampak.
Pernah beberapa kali di Karampuang listrik baru hidup pukul 18.00 petang dan pukul 21.00 sudah kembali padam. Semuanya bergantung pada panas matahari melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). PLTS ini sebagai bentuk hibah Amerika melalui proyek kemakmuran hijau Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia. Dibangun berdasarkan perjanjian Compact, antara pemerintah Indonesia dengan Amerika.
Para Nelayan mulai mengeluhkan, ikan yang harus dijual langsung ke pengepul dengan harga murah. Tidak bisa disimpan di mesin pendingin karena listrik yang tidak nyala 24 jam. Tidak ada olahan atau produksi kemasan dari hasil ikan yang ditangkap karena daya 400 watt untuk setiap rumah tidak cukup untuk operasional mesin produksi.
“Beberapa tahun lagi perjanjiannya akan habis, PLN sedang diusahakan masuk ke wilayah Karampuang. Memang ketika membuat perjanjian kurang cermat, bertambahnya waktu tapi tidak selaras dengan pertambahan daya PLTS, padahal kebutuhan masyarakat meningkat” disampaikan oleh Yuki Permana, Wakil Bupati Mamuju pada saat melepas Mahasiswa KKN di Kantor Bupati Kabupaten Mamuju. (5/8/25)
Air Bersih jadi Barang Langka
Sejak bencana gempa yang melanda Mamuju, pipa-pipa laut yang mengaliri air bersih banyak yang hancur. Akses air bersih oleh warga Pulau Karampuang semakin sulit dan terbatas. Sumur di wilayah Karampuang didominasi oleh air payau. Hanya sedikit sumur yang memiliki air tawar. Salah satunya ada di Masjid Dusun Karampuang 1.
Kini, setiap rumah harus memiliki toren besar untuk menampung air bersih yang dialiri dua kali dalam kurun waktu 10 hari. Hasil tampungan tersebut dimanfaatkan warga untuk kebutuhan satu rumah hingga nanti air datang lagi, entah tak menentu. Bahkan kadang air yang dialiri ke rumah-rumah warga bukanlah air bersih, tapi air coklat yang bercampur tanah. Ketika hujan datang, warga juga kerap kali menampung air hujan sebagai air simpanan tambahan. Tak ada jaringan PDAM dan belum terdengar solusi kedepannya. Di sini, air bersih bukan sekadar kebutuhan, air bersih adalah kemewahan.
Pendidikan di Tengah Keterbatasan
Potret ruang kelas dari satu-satunya Madrasah Aliyah yang ada di wilayah Karampuang. Bagaimana jika turun hujan?
Guru-guru sekolah didatangkan dari kota. Jumlahnya sedikit yang mau mengajar di pulau apalagi dengan akses yang terbatas. Tidak semua guru pengajar lengkap. Satu guru dituntut jadi super agar bisa mengajar banyak mata pelajaran. Tak jarang kelas kosong, karena tidak ada pengajar.
Beberapa anak dihadapkan pada pilihan sekolah di pulau hingga setingkat SMA dengan sarana dan prasarana yang belum dalam batas standar atau melanjutkan pendidikan menyebrang ke kota, di Mamuju. Ketika memilih melanjutkan ke kota, tantangan lain mulai datang. Satu-satunya akses dari pulau ke kota adalah dengan kapal.
Pada pagi hari laut bisa tenang, lalu bergelombang ganas sore nanti. Tidak hanya tentang risiko tapi juga kemampuan finansial untuk membiayai pendidikan di kota. Hingga kini, hanya hitungan kurang dari 10 orang anak dari Pulau Karampuang yang melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.
Akibatnya, banyak anak di Karampuang yang harus mengubur cita-citanya. Pendidikan mereka terhenti bukan karena kurang semangat belajar, tapi karena sistem dan fasilitas yang tidak mendukung. Ini bukan soal kemauan, tapi soal akses yang tak tersedia.
Pulau yang Tak Dilihat
Upaya penyampaikan pendapat dan aspirasi telah dan terus dilakukan oleh masyarakat Pulau Karampuang, bertahun-tahun. Dari satu generasi hingga berganti generasi selanjutnya. Setiap anak-anak kecil di Pulau Karampuang diajarkan bahwa ada haknya yang harus diperjuangkan. Sekedar hak untuk mengembangkan hidup: listrik, air bersih, dan pendidikan. Warga Karampuang tidak menuntut lebih. Bagaimana untuk mendorong sektor lainnya jika yang dasar saja belum terpenuhi?
“Saya menitipkan pesan ke adik-adik KKN agar bisa dibantu pesan dari masyarakat (Karampuang) ini disampaikan ke Pemerintah, permasalahan ini sudah bertahun-tahun berlangsung. Banyak yang tahu Karampuang tapi tidak banyak yang tahu keadaan aslinya,” ujar Supriyadi atau yang lebih akrab disapa Pak Made (Mantan Desa), tetua dan mantan kepala Desa Karampuang dalam sesi pemaparan Program Kerja KKN-PPM UGM Karampuang (25/7/25)
Pulau Karampuang bukan hanya tentang sebuah destinasi wisata bahari yang dijual di media sosial. Ia adalah bukti nyata cerminan realitas ketimpangan di negeri ini. Dari balik birunya laut Pulau Karampuang, ada suara-suara yang menunggu untuk didengar. (***)
Komentar